Pages

Monday, April 15, 2013

QISHAS dan KASUS LAPAS CEBONGAN





Oleh: Herman Anas
PENYERANGAN Lapas Cebongan yang menewaskan empat tahanannya yakni ; Dicky Sahetapi alias Dicky Ambon, Dedi, Ali, dan YD alias Johan sudah terungkap. Keterlibatan oknum anggota Korps Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD terbukti sebagai pelaku penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan Sleman Yogyakarta, mengundang kecaman dan keprihatinan.
Penyelidikan dari Tim Investigasi TNI AD mendapatkan motif penyerangan Lapas Kelas IIB Cebongan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, adalah reaksi atas pembunuhan anggota Kopassus Serka Heru Santoso dan penyerangan mantan anggota Kopassus Serka Sriyono. Kedekatan pelaku dengan para korban juga menjadi latar belakang. (Kamis, 4 April 2013 Jakarta, Kompas.com)
Ada banyak sekali komentar diberbagai media massa tentang kasus Penyerangan Kopassus di Lapas Cebongan. Mulai dari mengecam karena main hakim sendiri sampai dengan yang memuji Kopassus, karena bisa membunuh 4 orang yang dikaitkan premanisme.
Namun yang jelas, semua pihak sepakat,  hukum jalanan (street justice) tidak akan pernah menyelesaikan masalah, tetapi justru akan memperuncing dan menambah masalah yang lain. Penegakan hukum harus dipastikan terbuka atas kasus ini. Semata-mata, untuk mencegah semakin meningkatnya ketidakpercayaan publik pada hukum dan para aparat negara.

Meski demikian,ada beberapa hikmah yang bisa diambil dari kasus tersebut. Tentu sebagai umat Islam, kita harus memandangnya sebuah kasus dari sudut pandang Islam. Bukan berdasarkan sudut pandang yang lain. Dan yang terpenting, hikmah tersebut hanya bisa diambil oleh orang yang menggunakan akalnya.
Banyak sekali perintah di dalam al-Qur’an mengajak manusia untuk menggunakan akal bukan perasaan di dalam menyelesaikan persoalan. Allah pada saat memberikan petunjuk (al-qur’an) kepada manusia tentu untuk kemaslahatan. Sehingga orang yang mengingkari petunjuk tersebut akan tersesat dan mengalami kerusakan dalam hidupnya baik di dunia terlebih di akhirat.
Sebagaimana perkataan Sayyidina umar  (Kita adalah kaum yang dimuliakan oleh Allah dengan agama Islam, maka apabila kita mencari kemulian di luar Islam, justru Allah menghinakannya)
Perkataan Sayyidina umar ini bisa dibuktikan pada saat ini oleh umat Islam. Umat benar-benar dihinakan oleh Allah dengan hukum jalanan karena tidak diterapkannya sanksi qishas dalam kasus pembunuhan yang disengaja. 

1. Kerusakan yang pertama adanya Hukum Jalanan (Street Justice)
Ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum saat ini mengakibatkan mereka mengambil langkah hukum sendiri. Hal ini terbukti banyak kasus tidak hanya penyerangan Kopassus di Lapas Cebongan yang sedang ramai dibicarakan saat ini.
Banyak sekali kasus pembunuhan, mutilasi dan perampokan yang berada disekeliling kita. Bahkan jambret dan pencuri  malah menjadi profesi akibat tiadanya hukum yang tegas, memberikan efek jera dan adil.
Dalam Islam orang akan berpikir seribu kali untuk melakukan pembunuhan karena dia tau konsekuensinya adalah dibunuh (efek jera).
Abu ‘aliyah mengatakan dalam tafsir Ibnu Katsir bahwa ;“Allah menjadikan Qishas sebagai jaminan keberlangsungan hidup : Betapa banyak orang yang ingin membunuh, tapi kemudian mengurungkannya karena takut dirinya dibunuh (qishas)”. Tidak pandang bulu siapapun yang melakukan baik rakyat jelata ataupun konglomerat. Sebagaimana potongan Sabda Nabi, “Andaikan Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku sendiri yang akan memotong tangannya.”
Kondisi ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Kepuasan terhadap penegakan hukum di Indonesia berada pada titik terendah. Hanya 29,8 persen yang menyatakan puas terhadap penegakkan hukum di tanah air. Sementara sisanya 56,0 persen menyatakan tidak puas. 
2. Kerusakan yang kedua adanya Balas Dendam pada saat masalah tidak diputusi secara adil.
Kebanyakan orang sering mengatakan kejam terhadap sanksi Islam sebagaimana qishas. Karena mereka memakai sudut pandang HAM-Barat yang melihat dari sisi pelaku, bukan sudut pandang Islam yang memandang dari sisi korban. Padahal Allah berfirman dalam al-Qur’an


"Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS:Al-Baqarah 179)

Dalam kitab Tafsir al-Lubab Fi’ulumil Kitab, Jilid 3 hal 228 (Marji’ul Akbar) dijelaskan :
“Sesungguhnya dalam syari’at qishas terdapat jaminan kehidupan. Pertama, kehidupan bagi orang yang ingin membunuh, apabila dia mengetahui akan dibunuh  jika melakukan pembunuhan. Kedua, kehidupan bagi korban.Ketiga,  karena orang yang ingin membunuhnya takut diqishas sehingga dia tidak berani untuk melakukan pembunuhan. Ketiga, kehidupan bagi selain kedua di atas: adanya jaminan kehidupan bagi orang yang berkeinginan untuk membunuh dan ingin dibunuh. Keempat, dengan hidupnya orang ingin membunuh dan dibunuh nomor 3 di atas, maka terdapat jaminan kehidupan terhadap orang yang ta’asshub kepada keduanya. Karena datangnya fitnah yang besar disebabkan adanya pembunuhan.”

Dalam ayat tersebut justru dalam qishas terdapat jaminan kelangsungan hidup bagi umat yang menggunakan akalnya. Tidak sebagaimana saat ini, yang terjadi adalah hukum rimba. Siapa yang kuat (kaya dan berkedudukan) maka dia bisa kebal terhadap hukum dan bisa memenangkan perkara atau dapat membunuh orang yang bertentangan dengannya.
Pembunuhan di Lapas Cebongan adalah reaksi balas dendam atas pembunuhan anggota Kopassus Serka Heru Santoso. Kejadian ini menunjukkan orang yang dekat dengan korban meskipun bukan keluarga mempunyai rasa balas dendam apalagi ahli waris (keluarga).
Sehingga benar dalam dalam Islam sebelum disanksi qishas, ditanyakan terlebih dahulu kepada pihak ahli waris akan keridhaannya. Apabila ahli waris ridha maka hukum qishas digagalkan dan diganti dengan diyat. Sehingga dengan diyat kelangsungan hidup ahli waris bisa terjamin. Pun saat di qishas, jika pelaku menjadi tulang punggung keluarga, maka di dalam Islam ada baitul mal yang akan mencukupi pada saat keluarga terdekatnya tidak mampu memenuhi kebutuhannya. Makanya Islam wajib diterapkan secara menyeluruh, sehingga ketakutan-ketakutan tidak beralasan yang disampaikan oleh banyak orang baik oleh musuh Islam ataupun umat Islam  bisa teratasi. Karena Allah sudah mengaturanya dengan sempurna dan paripurna, tetapi umat Islam saja yang belum memahami dengan sempurna.
Dalam setiap kasus yang sudah, sedang dan yang akan terjadi, jika umat tidak memutuskan dengan adil sebagaimana dalam al-Qur’an. Meskipun berbeda reaksi yang dilakukan oleh yang punya kekuatan dengan rakyat jelata. Yang punya kekuatan bisa menggunakan kekuatannya, sedangkan rakyat jelata hanya bisa pasrah menyimpan dendam. Dan tidak ada jaminan mereka tidak melampiaskannya pada anak-cucu pelaku.

Khatimah/Penutup.
Umat tidak harus merasa ngeri terhadap hukum Islam seperti qishas yang adil. Karena hukum Islam bukan hukum jalanan yang asal bunuh, sebagaimana kejadian pembunuhan Serka Heru Santoso dan penyerangan Kopassus. Dalam kasus inipun umat ternyata banyak yang mendukung Kopassus, meskipun sampai membunuh 4 orang. Karena merasa hal tersebut adalah balasan yang adil, padahal hukuman adalah kewenangan hakim.
Seharusnya umat sangat mendukung terhadap sanksi qishas bagi pembunuh yang disengaja dalam hukum Islam. Karena orang baru dinyatakan bersalah setelah proses pembuktian.
Qishaspun dilakukan pada saat keluarga tidak ridha terhadap suatu kasus. Pembunuhan Kopassus dan penyerangan terhadap yang diduga preman cukuplah sebagai ibrah bagi umat Islam untuk kembali ke hukum Islam. Tidak perlu menunggu pembunuhan yang lebih besar lagi atau bahkan menunggu keluarga sendiri yang terlibat.*
Herman Anas (Penulis adalah  alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep Madura)

No comments:

Post a Comment