(ditulis
oleh: Al-Ustadz Qomar Suaidi)
Di
majalah As Syari’ah
(Surakarta)
Segala
puji hanya milik Allah Rabb semesta Alam, Dzat Yang Maha Tinggi dengan
sifat-sifat-Nya yang mulia dan nama-nama-Nya yang berada pada puncak keindahan.
Semoga shalawat dan salam-Nya selalu Ia curahkan keharibaan Rasul-Nya Muhammad,
keluarga, sahabat dan para pengikutnya sampai akhir zaman.
Mencari
rezeki merupakan tuntutan kehidupan yang tak mungkin seseorang menghindar darinya.
Seorang muslim tidak melihatnya sekadar sebagai tuntutan kehidupan. Namun ia
mengetahui bahwa itu juga merupakan tuntutan agamanya, dalam rangka menaati
perintah Allah l untuk memberikan kecukupan dan ma’isyah kepada diri dan
keluarganya, atau siapa saja yang berada di bawah tanggung jawabnya.
Dari
sinilah seorang muslim bertolak dalam mencari rezeki. Sehingga ia tidak
sembarangan dan tanpa peduli dalam mencari rezeki. Tidak pula bersikap
materialistis atau ‘Yang penting kebutuhan tercukupi’, ‘Yang penting perut
kenyang’ tanpa peduli halal dan haram. Atau bahkan lebih parah dari itu ia
katakan seperti kata sebagian orang, ‘Yang haram saja susah apalagi yang
halal’.
Sekali-kali
tidak! Itu adalah ucapan orang yang tidak beriman. Bahkan yang halal insya Allah
jauh lebih mudah untuk didapatkan daripada yang haram. Dengan demikian sebagai
seorang muslim yang taat, ia akan memerhatikan rambu-rambu agamanya sehingga ia
akan memilah antara yang halal dan yang haram. Ia tidak akan menyuapi dirinya,
istri dan anak-anaknya kecuali dengan suapan yang halal. Terlebih di zaman
seperti yang disifati oleh Nabi n:
يَأْتِي عَلىَ النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِي الْمَرْءُ مَا أَخَذَ أَمِنَ الْحَلَالِ أَمْ مِنَ الْحَرَامِ
“Akan
datang kepada manusia suatu zaman di mana seseorang tidak peduli apa yang dia
ambil, apakah dari hasil yang halal atau yang haram.” (Shahih, HR. Al-Bukhari
dan An-Nasa’i dari hadits Abu Hurairah z, Shahih At-Targhib no. 1722)
Suapan
yang haram tak lain kecuali akan menyebabkan pemakannya terhalangi dari surga.
Diriwayatkan dari Abu Bakr Ash-Shiddiq z, dari Nabi n, beliau bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ جَسَدٌ غُذِيَ بِحَرَامٍ
“Tidak
akan masuk ke dalam surga sebuah jasad yang diberi makan dengan yang haram.”
(Shahih Lighairihi, HR. Abu Ya’la, Al-Bazzar, Ath-Thabarani dalam kitab
Al-Ausath dan Al-Baihaqi, dan sebagian sanadnya hasan. Shahih At-Targhib 2/150
no. 1730)
Oleh
karenanya, istri para as-salaf ash-shalih (para pendahulu kita yang baik) bila
suaminya keluar dari rumahnya, iapun berpesan:
إِيَّاكَ وَكَسْبَ الْحَرَامِ، فَإِنَّا نَصْبِرُ عَلَى الْجُوْعِ وَلاَ نَصْبِرُ عَلىَ النَّارِ
“Jauhi
olehmu penghasilan yang haram, karena kami mampu bersabar atas rasa lapar tapi
kami tak mampu bersabar atas neraka.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin)
Tentu
mencari yang halal merupakan kewajiban atas setiap muslim, sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Qudamah t dalam kitabnya Mukhtashar Minhajul Qashidin:
“Ketahuilah bahwa mencari yang halal adalah fardhu atas tiap muslim.” Karena
demikianlah perintah Allah l dalam ayat-ayat-Nya dan perintah Rasul n dalam
hadits-haditsnya. Di antaranya:
ﯧ ﯨ
ﯩ ﯪ
ﯫ
ﯬ
ﯭ
ﯮ
ﯯ
ﯰ
ﯱ
ﯲﯳ
ﯴ
ﯵ
ﯶ
ﯷ
ﯸ
“Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi,
dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan
itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah: 168)
As-Sa’di
t menafsirkan: “Ini adalah pembicaraan yang ditujukan kepada manusia seluruhnya
mukmin maupun kafir, bahwa Allah l memberikan karunia-Nya kepada mereka
yaitu dengan Allah l perintahkan mereka agar memakan dari seluruh yang ada di
muka bumi berupa biji-bijian, buah-buahan, dan hewan-hewan selama keadaannya
halal. Yakni, dibolehkan bagi kalian untuk memakannya, bukan dengan cara
merampok, mencuri, atau dengan cara transaksi yang haram, atau cara haram yang
lain, atau untuk membantu yang haram.” (Tafsir As-Sa’di)
“Dan
makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
(Al-Ma’idah: 88)
“Maka
makanlah yang halal lagi baik dari rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu;
dan syukurilah nikmat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”
(An-Nahl: 114)
“Hai
rasul-rasul, makanlah dari ath-thayyibaat, dan kerjakanlah amal yang shalih.
Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Mu’minun: 51)
Ath-Thayyibaat
artinya adalah yang halal. Allah l perintahkan untuk memakan yang halal sebelum
beramal.
Di
samping perintah untuk mencari yang halal, Allah l dan Nabi-Nya n melarang dan
memperingatkan kita dari penghasilan yang haram. Allah l berfirman:
“Dan
janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan
jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian harta benda orang lain itu dengan (jalan
berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188)
Diriwayatkan
dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إِلاَّ طَيِّبًا وَإِنَّ اللهَ أَمَرَ الْمُؤْمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ الْمُرْسَلِينَ فَقَالَ: {ﮡ ﮢ
ﮣ ﮤ
ﮥ ﮦ
ﮧﮨ ﮩ
ﮪ ﮫ
ﮬ } وَقَالَ: {ﭽ ﭾ
ﭿ ﮀ
ﮁ ﮂ
ﮃ ﮄ}
ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلىَ السَّمَاءِ: يَا رَبِّ، يَا رَبِّ؛ وَمَطَعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَام، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ
“Sesungguhnya
Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, dan sungguh Allah l
perintahkan mukminin dengan apa yang Allah l perintahkan kepada para Rasul,
maka Allah l berfirman: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik,
dan kerjakanlah amal yang shalih. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan’ dan berfirman: ‘Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara
rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.’ Lalu Nabi n menyebutkan
seseorang yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya kusut masai, tubuhnya
berdebu, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berucap: ‘Wahai Rabbku,
wahai Rabbku.’ Akan tetapi makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya
haram, disuapi gizi yang haram, bagaimana mungkin doanya terkabul?” (HR. Muslim
dan At-Tirmidzi)
Dari
Abdullah bin Amr c, bahwa Rasulullah n bersabda:
أَرْبَعٌ إِذَا كُنَّ فِيْكَ فَلاَ عَلَيْكَ مَا فَاتَكَ مِنَ الدُّنْيَا: حِفْظُ أَمَانَةٍ، وَصِدْقُ حَدِيْثٍ، وَحُسْنُ خَلِيْقَةٍ، وَعِفَّةٌ فِي طَعْمَةٍ
“Empat
perkara bila keempatnya ada padamu maka tidak mengapa apa yang terlewatkanmu
dari perkara duniawi: menjaga amanah, ucapan yang jujur, akhlak yang baik, dan
menjaga (kehalalan) makanan.” (Shahih, HR. Ahmad dan Ath-Thabarani dan sanad
keduanya hasan, Shahih At-Targhib no. 1718)
Ath-Thabarani
t juga meriwayatkan dari Abu Thufail dengan lafadz:
مَنْ كَسَبَ مَالاً مِنْ حَرَامٍ فَأَعْتَقَ مِنْهُ وَوَصَلَ مِنْهُ رَحِمَهُ كَانَ ذَلِكَ إِصْرًا عَلَيْهِ
“Barangsiapa
mendapatkan harta yang haram lalu ia membebaskan budak darinya dan menyambung
silaturrahmi dengannya maka itu tetap menjadi beban atasnya.” (Hasan
lighairihi. Shahih Targhib, 2/148 no. 1720)
Dari
Al-Qasim bin Mukhaimirah z ia berkata bahwa Rasulullah n bersabda:
مَنِ اكْتَسَبَ مَالًا مِنْ مَأْثَمٍ فَوَصَلَ بِهِ رَحِمَهُ أَوْ تَصَدَّقَ بِهِ أَوْ أَنْفَقَهُ فِي سَبِيلِ اللهِ، جَمَعَ ذَلِكَ كُلَّهُ جَمِيعًا فَقُذِفَ بِهِ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa
mendapatkan harta dengan cara yang berdosa lalu dengannya ia menyambung
silaturrahmi atau bersedekah dengannya atau menginfakkannya di jalan Allah, ia
lakukan itu semuanya maka ia akan dilemparkan dengan sebab itu ke neraka
jahannam.” (Hasan lighairihi, HR. Abu Dawud dalam kitab Al-Marasiil, lihat
Shahih At-Targhib, 2/148 no. 1721)
Abdullah
bin Mas’ud z juga pernah menyampaikan pesan Rasulullah n:
اسْتَحْيُوا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ. قال: قلنا: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّا لَنَسْتَحْيِي وَالْحَمْدُ لِلهِ. قَالَ: لَيْسَ ذَلِكَ، وَلَكِنَّ الْاِسْتِحْيَاءَ مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ أَنْ تَحْفَظَ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى، وَتَحْفَظَ الْبَطْنَ وَمَا حَوَى، وَتَذْكُرَ الْمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا، فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah
kalian malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” Kami (para sahabat) berkata:
“Wahai Nabiyullah, kami punya rasa malu kepada Allah, alhamdulillah.” Beliau
berkata: “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya
adalah kamu jaga kepala dan apa yang diliputinya (yakni lisan, mata, telinga),
kamu jaga (isi) perutmu (yakni dari yang haram) dan jaga yang bersambung
dengannya, kamu ingat kematian dan kehancuran. Barangsiapa yang menghendaki
akhirat tentu dia tinggalkan perhiasan dunia. Siapa saja yang melakukan itu
semua, berarti dia telah malu dari Allah dengan sebenar-benarnya.” (Hasan
lighairihi, HR. At-Tirmidzi, Shahih At-Targhib: 2/149 no. 1724)
Keutamaan
Memakan dari Hasil Tangan Sendiri
Allah
l telah memberikan kepada kita karunia-Nya, berupa kesempatan, sarana dan
prasarana untuk mencukupi kebutuhan kita. Allah l menjadikan waktu siang agar
kita gunakan untuk mencari penghidupan. Allah l berfirman:
“Dan
Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (An-Naba’: 11)
Allah
l pun menjadikan di muka bumi ini ma’ayisy, sarana-sarana penghasilan yang
beraneka ragam yang dengannya seseorang dapat memenuhi kebutuhannya, walaupun
sedikit dari mereka yang menyadari dan mensyukurinya.
“Sesungguhnya
Kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan Kami adakan bagimu di
muka bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur.” (Al-A’raf:
10)
Untuk
itulah Allah l mempersilakan kita untuk berkarya dan berwirausaha dalam mencari
karunia Allah l.
”Tidak
ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Rabbmu.”
(Al-Baqarah: 198)
Karena
demikian terbukanya peluang untuk kita, maka Nabi n pun menganjurkan kepada
kita:
احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ
”Bersemangatlah
untuk sesuatu yang bermanfaat buatmu.” (Shahih, HR. Muslim)
Yakni
bermanfaat baik dalam urusan akhirat maupun dunia.
Sehingga
seseorang hendaknya bersemangat untuk mencari kecukupannya dengan tangan
sendiri. Itulah sebaik-baik penghasilan yang ia makan. Jangan menjadi beban
bagi orang lain dengan selalu bergantung kepadanya. Demikianlah yang dilakukan
para pendahulu kita termasuk para sahabat bahkan para Nabi.
Al-Munawi
t dalam bukunya Faidhul Qadir mengatakan: “Mencari penghasilan dengan bekerja
adalah sunnah para Nabi. Dari Miqdam bin Ma’dikarib z dari Nabi n, beliau
bersabda:
مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ الصَّلاَةُ وَالسَّلَامُ كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ
“Tidaklah
seorangpun memakan makanan sama sekali yang lebih bagus dari memakan dari hasil
kerja tangannya sendiri dan Nabiyyullah Dawud dahulu memakan dari hasil kerja
tangannya sendiri.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Nabi
Muhammad n menyebut Nabi Dawud q secara khusus bukan Nabi yang lain, karena
Nabi Dawud q adalah seorang khalifah di muka bumi, yang sebenarnya tidak butuh
untuk berusaha sendiri. Namun demikian, hal itu tidak menghalangi beliau untuk
melakukan yang paling utama. Demikian dijelaskan Ibnu Hajar t (Fathul Bari,
4/306).
Demikian
pula halnya Nabi Zakariyya q. Beliau adalah seorang tukang kayu. Nabi n
menyebutkan:
كَانَ زَكَرِيَّاءُ نَجَّارًا
“Zakariyya
adalah seorang tukang kayu.” (Shahih, HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah z)
Hadits
ini menunjukkan keutamaan beliau, sebagaimana ungkap Al-Imam An-Nawawi t.
Karena beliau dengan itu makan dari hasil kerjanya sendiri. Keadaannya sebagai
nabi tidak menghalanginya untuk berprofesi sebagai tukang kayu. Bahkan dengan
itu, beliau memberi contoh kepada umat. Nabi n juga bersabda:
لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حِزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيهِ أَوْ يَمْنَعُهُ
”Salah
seorang di antara kalian mencari/mengambil seikat kayu bakar di atas
punggungnya lebih baik atasnya daripada meminta-minta seseorang lalu orang itu
memberinya atau (mungkin) tidak memberinya.” (Shahih, HR. Al-Imam Malik,
Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari sahabat Abu Hurairah z)
Dalam
hadits lain:
”Lalu
ia menjual kayu bakar itu sehingga dengannya Allah l lindungi wajahnya (yakni
dari kehinaan), maka lebih baik daripada meminta-minta kepada manusia. Mereka
mungkin memberi atau tidak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari)
Dari
Sa’id bin ’Umair, dari pamannya ia berkata:
سُئِلَ رَسُولُ اللهِ n: أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ؟ قَالَ: عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِه،ِ وَكُلُّ كَسْبٍ مَبْرُورٍ
Rasulullah
n ditanya: ”Penghasilan apakah yang paling baik?” Beliau menjawab: ”Pekerjaan
seseorang dengan tangannya sendiri dan semua penghasilan yang mabrur (diterima
di sisi Allah).” (Shahih Lighairihi, HR. Al Hakim. Shahih At-Targhib: 2/141 no.
1688)
Nabi
n juga menyebutkan bahwa seorang yang bekerja untuk anaknya dan memenuhi
kebutuhan orang yang berada dalam tanggungannya berarti dia berada di jalan
Allah l. Dalam hadits dari Ka’b bin ‘Ujrah, ia berkata:
مَرَّ عَلَى النَّبِيِّ n رَجُلٌ فَرَأَى أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ n مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، لَوْ كَانَ هَذَا فِي سَبِيلِ اللهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ n: إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيْرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
Seseorang
telah melewati Nabi n maka para sahabat Nabi melihat keuletan dan giatnya,
sehingga mereka mengatakan: “Wahai Rasulullah, seandainya ia lakukan itu di
jalan Allah l.” Maka Rasulullah n bersabda: “Bila ia keluar (rumah) demi
mengusahakan untuk anak-anaknya yang kecil maka ia berada di jalan Allah. Bila
ia keluar demi mengusahakan untuk kedua orangtuanya yang telah berusia lanjut
maka ia berada di jalan Allah. Bila dia keluar demi mengusahakan untuk dirinya
sendiri agar terjaga kehormatannya maka ia berada di jalan Allah. Namun bila
dia keluar dan berusaha untuk riya’ (mencari pujian orang) atau untuk berbangga
diri, maka ia berada di jalan setan.” (Shahih lighairihi, HR. At-Thabarani.
Shahih At-Targhib, 2/141 no. 1692)
Al-Imam
Ahmad t ditanya: “Apa pendapatmu tentang seseorang yang duduk di rumahnya atau
di masjidnya, dan berkata: ‘Saya tidak akan bekerja apapun sampai rezekiku
nanti datang’.” Beliau menjawab: “Orang ini tidak tahu ilmu. Tidakkah dia
mendengar sabda Nabi: ‘Allah jadikan rezekiku di bawah bayangan tombakku’ dan
beliau bersabda ketika menyebutkan burung: ‘Pergi waktu pagi dengan perut
kosong dan pulang waktu sore dengan perut kenyang’. Dahulu para sahabat Nabi
berdagang baik di darat maupun di laut. Mereka juga bertani di kebun korma
mereka. Mereka adalah teladan.”
No comments:
Post a Comment