Pages

Friday, March 22, 2013

Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!

  




Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untuk belanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahun lalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5 orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman di Teluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri saya mengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah. Jawaban itu yang selalu diberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantar balik. Ada-ada saja alasannya.
Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain dan bersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah. tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akan antar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah." katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian.

"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedang sibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.
Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihat mukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah," katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.
Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah. Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunya kedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicara sepatah kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.! Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya Pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanya memandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali ke mobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan. "Ayah sudah tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu meminta saya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?" Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata, "Ayah sudah tiada!!"
Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat Itu saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu. Saya sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat saya mencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaan seorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati saya bagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidak dapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saat akhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkan diri ini. 

Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidak berarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka.
Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.
----
Ndhie
ndhi.salim (at) gmail.com

Tuesday, March 19, 2013

karakter pribadi muslim



MUHAMMAD Qutub dalam salah karya spektakulernya “Manhajut Tarbiyah Al-IslamiyyahNadhariyyah wa Tathbiqan” mengatakan, ada tiga komponen yang amat menentukan keberhasilan sebuah pendidikan. Yaitu masukan (input),  proses  dan  keluaran  (out-put). Jika salah satu unsur dari ketiganya kurang ideal, maka mustahil melahirkan keluaran yang diharapkan pula. 

Karenanya, bagi seorang Muslim, iman harusnya menjadi masukan penting agar bisa melahirkan sikap dan kepribadian yang baik.

Iman adalah sumber energi jiwa yang senantiasa memberikan kekuatan yang tidak ada habis-habisnya untuk bergerak memberi, menyemai kebaikan, kebenaran dan keindahan dalam taman kehidupan, atau bergerak mencegah kejahatan, kebatilan dan kerusakan di permukaan bumi.

Iman juga merupakan gelora yang mengalirkan inspirasi kepada akal pikiran, yang kelak melahirkan bashirah (mata hati), yakni sebuah pandangan yang dilandasi oleh kesempurnaan ilmu dan keutuhan keyakinan.

Iman juga sebuah cahaya yang menerangi dan melapangkan jiwa kita, yang kelak melahirkan taqwa, sikap mental tawadhu (rendah hati), wara’ (membatasi konsumsi dari yang halal), qana’ah (puas terhadap karunia Allah), yaqin (kepercayaan yang penuh atas kehidupan abadi).
Iman adalah bekal yang menjalar di seluruh bagian tubuh kita, hingga lahirlah harakah (gerakan); sebuah gerakan yang terpimpin untuk memenangkan kebenaran atas kebatilan, keadilan atas kezaliman, kekuatan jiwa atas kelemahan. Iman menentramkan perasaan, mempertajam emosi, menguatkan tekat dan menggerakkan raga.

Intinya, iman mengubah individu menjadi baik. Ia mampu mengubah yang kaya menjadi dermawan, dan miskin menjadi ‘iffah (menjaga kehormatan dan harga diri). Ia juga bisa membuat yang berkuasa menjadi adil, dan yang kuat menjadi penyayang, yang pintar menjadi rendah hati, dan yang bodoh menjadi pembelajar. Itulah iman.

Prinsip Hidup

Orang mukmin adalah sosok manusia yang memiliki prinsip hidup yang dipeganginya dengan erat. Ia berkerja sama dengan siapapun dalam kebaikan dan ketakwaan. Jika lingkungan sosialnya mengajak kepada kemungkaran, ia mengambil jalan sendiri.

“Janganlah ada di antara kamu menjadi orang yang tidak mempunyai pendirian, ia berkata : Saya ikut bersama-sama orang, kalau orang-orang berbuat baik, saya juga berbuat baik, dan kalau orang-orang berbuat jahat sayapun berbuat jahat. Akan tetapi teguhkanlah pendirianmu. Apabila orang-orang berbuat kebajikan, hendaklah engkau juga berbuat kebajikan, dan kalau mereka melakukan kejahatan, hendaknya engkau menjauhi perbuatan jahat itu.” (Riwayat at-Turmudzi).

Orang mukmin yang sejati mempunyai harga diri, tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang hina. Apabila ia terpaksa melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak pantas, perbuatannya itu ia sembunyikan dan tidak dipertontonkan di hadapan orang banyak. Ia masih memiliki rasa malu jika aibnya diketahui –apalagi—ditiru  orang banyak.

Karenanya sungguh aneh, saat ini seorang terdakwa kasus pornografi –yang terbukti melakukan maksiat dan menvideokannya—masih bisa tersenyum dan tak merasa bersalah di depan publik.!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!! (a**** PinterP(O)rn)

Seorang mukmin yang baik, ia berani menegakkan kebenaran sekalipun rasanya pahit. Untuk memenuhi perintah Allah, tidak untuk memperoleh maksud duniawi yang rendah dan untuk tujuan jangka pendek dan kenikmatan sesaat. Jika ia membiarkan kebatilan mendominasi kehidupan, maka imannya seolah terjangkiti virus kelemahan. Seorang mukmin teguh pendirianya, bagaikan batu karang di tengah lautan. Tegar dari amukan badai dan hempasan gelombang serta pasang surut lautan.

Kekuatan jiwa seorang muslim, terletak pada kuat dan tidaknya keyakinan yang dipeganginya. Jika akidahnya teguh, kuat pula jiwanya. Tetapi jika akidahnya lemah, lemah pula jiwanya. Ia tinggi karena menghubungkan dirinya kepada Allah Yang Maha Agung dan Maha Tinggi.
Orang beriman dalam beramal dan mengabdi hanya mengharapkan ridha Allah semata. Ia merupakan manusia yang menakjubkan. Karena ia dianggap sebagai inti (jauhar) dari unsur-unsur yang ada di alam semesta. Tak peduli julukan, stigma atau sebutan negatif oleh pihak lain.

Iman akan selalu memberikan ketegaran, keteguhan jiwa kepada pemiliknya, sekalipun berhadapan dengan kezaliman raja, bahkan melawannya.

"Kami sekali-kali tidak akan mengutamakan kamu daripada bukti-bukti yang nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan daripada Tuhan yang telah menciptakan kami; Maka putuskanlah apa yang hendak kamu putuskan. Sesungguhnya kamu hanya akan dapat memutuskan pada kehidupan di dunia Ini saja.” (QS. Thaha (20) : 72).

Imanlah memberikan ketenangan jiwa Nabi Musa as. ketika dihadapkan dengan kenyataan pahit.

Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa : Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul. Musa menjawab, “Sungguh tidak akan tersusul, sesungguhnya Tuhanku bersamaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah bagaikan gunung yang besar.” (QS. 26 : 61-63).

Iman jualah yang menjadikan Nabiyullah Muhammad Saw tertidur dengan pulas di saat bersembunyi di sebuah gua, dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Padahal waktu itu nyawanya sedang terancam.


“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita…” (QS: Thaha (9) : 40).

Karenanya, kedudukan, kekayaan, kepandaian yang tidak ditemani oleh iman, ia hanya akan membuat pemburunya kecewa. Apalagi jika tak digunakan untuk kemuliaan agama. Seolah disangka berupa air yang bisa membasahi kerongkongan yang kering karena kehausan. Padahal setelah didatanginya hanya berupa fatamorgana.

Sering, sebagian orang Mukmin mengatakan, “orang kafir tidak shalat dan haji, tetapi dia bisa kaya.”  Pernyataan itu sesungguhnya betul. Namun satu hal yang orang tidak banyak tahu.  Kata Allah, orang-orang kafir, karena amal-amal mereka tidak didasarkan atas iman, tidaklah mendapatkan balasan dari Tuhan di akhirat, walaupun di dunia mereka mengira akan mendapatkan balasan atas amalan mereka itu.
 “Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.” (QS. An-Nuur [24]: 39).
Semoga kita menjadi orang Muslim yang punya pendirian. Dan tidak keliru lagi melihat hidup dan kehidupan ini. (suara Hidayatulloh)

Berani Berkata dan Berani Berbuat




BANYAK manusia bijak yang bertebaran di muka bumi ini, tak jarang nasehat-nasehat santun dan menuntun mereka publikasikan kepada khalayak umum. Dengan penampilan yang mempesona dan meyakinkan bagaikan orator ataupun mubaligh ulung, mereka “blusukan” mendoktrin orang lain untuk melakukan kebajikan. Sayangnya, teramat banyak golongan yang demikian itu hanya mencari sensasi. Terlebih jika dikaitkan dengan urusan politik. Nasehat dan amal apapun, cenderung pamrih.
"Amal-amal politik", kadang lebih dominan dengan gerakan meraih simpatisan dan popularitas.
Urusan pamrih inilah yang seharusnya dihindarkan orang yang mengaku ummat yang beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya.
Hikmah yang dapat diambil dari Bani Israil, kaum keturunan nabi Ya’kub as dan sekarang familiar dengan sebutan bangsa Yahudi, di mana mereka sangat terkenal sebagai kaum yang suka ingkar janji, bahkan senantiasa mengingkari perintah dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka selalu ingkar atas nikmat yang telah Allah limpahkan kepada mereka, bahkan berani mengingkari dari apa yang telah mereka janjikan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Di antaranya, janji Bani Israil kepada Allah dan mengingkarinyaadalah ketika mereka bernaji menyembah Allah Subhanahu Wata’ala dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Mereka berjanjia beriman kepada Rasul-rasul Allah di antaranya nabi Muhammad sebagaimana yang tersebut di dalam Taurat. Tapi pada kenyataannya, hingga detik ini kaumYahudi masih tidak mengakui ke-Esa-an Allah Subhanahu Wata’ala, bahkan mereka memusuhi ummat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena itulah, Yahudi adalah salah satu kaum yang mendapat peringatan dari Allah Subhanahu Wata’ala terkait perbuatannya yang tidak sesuai dengan perkataannya.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 44, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan ats-Tsa'labi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan kaum Yahudi Madinah yang pada waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang telah masuk agama Islam.
Mereka berkata: "Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar." Ironinya, mereka menyuruh orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Hal inilah yang menjadi asbabun nuzul turunnya peringatan Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 44 tersebut.
Tentu peringatan Allah swt tidak berhenti pada kaum Yahudi saja, segala bentuk teguran-Nya berlaku secara umum dan menyeluruh hingga akhir zaman. Dan kini, orang-orang yang sedang hidup di zaman globalisasi sangat rentan mengatakan sesuatu yang mereka tidak mampu bahkan tidak ingin untuk melakukannya. Terbius dengan gemerlapnya dunia dan status jabatan yang tinggi, menyebabkan banyak orang berani melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapan.
Betapa banyak orang-orang yang mengaku beragama dan beriman, mereka memiliki kesempatan membuat kebijakan atau aturan, namun mereka sendiri tidak melaksanakan kebijakan dan aturan itu, bahkan sering melanggar aturan-aturan yang telah dibuatnya dengan anggaran biaya yang “selangit” tersebut. Tidak sedikit mereka yang pandai menyeru kebaikan ketika di atas mimbar atau podium, tetapi tutur katanya itu sendiri tidak pernah menjadi cermin dalam perilaku sesungguhnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lebih tegas mengingatkan orang-orang beriman akan siksa yang pedih bagi kaum yang suka mengajak kebaikan, namun ia tidak melakukan kebaikan itu, atau kaum yang gemar melarang berbuat dzalim, sementara ia selalu berbuat kemunkaran.
Dari Abu Zaid, Usamah bin Zaid bin Haritsah ra., Rasulullah bersabda, “Pada hari Kiamat, ada seorang laki-laki didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya keluar. Ia berputar-putar seperti keledai yang berputar mengelilingi penggilingan.”
Penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya, “Hai Fulan, bukankah kamu yang menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang kemunkaran?” Dia menjawab, “Ya. Dulu, aku menyuruh mengerjakan kebaikan, tetapi aku tidak melakukan kebaikan itu. Aku juga melarang adanya kemunkaran, tapi aku sendiri melakukan kemunkaran itu.” (Riwayat Bukhari & Muslim).

Sebagian di antara kita memiliki sifat demikian. Suka berkata dan mengajak orang lain dalam kebaikan, namun dirinya sendiri enggan atau tidak melakukan apa yang ia perintahkan.
Tak sedikit di antara kita suka melarang sebuah kemunkaran, namun diri sendiri masih melanggarnya. Padahal, sikap seorang Muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi lainnya.

Karena itulah Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: Ash Shaff: 2-3).

Sungguh, beruntungnya kita ummat Islam sebagai ummat akhir zaman. Tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi menuntut kita agar mampu memberi teladanamal ma’ruf nahi munkar yang tidak sebatas lisan. Kearifan berpikir, kejujuran bertutur dan kesantunan berperilaku harus berjalan seimbang, karena itu bagian dari teladan yang pernah dicontohkan Rasulullah saw, Nabi akhir zaman. Di rumah, di kantor, di masyarakat, apa yang ada dalam perbuatan kita haruslah sama dengan apa yang sering kita ucapkan dalam lisan kita. Itulah tanda-tanda keimanan.(ditulis saudaraku */Zainal Arifin, Batam)

Perhatikanlah Siapa Teman di Sekelilingmu!





SIAPAKAH teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan, dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, kelalaian dan menjauhkan kita dari Allah Subhanahu Wata’ala dan  akhirat?
Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab, hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.

Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.

Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).

Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Berapa banyak orang seperti ini di sekitar kita; yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan, menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa banyak orang yang membuat kita segan bermaksiat di dekatnya, membuat kita lebih berhati-hati, dan menyemangati ibadah? Atau, justru sebaliknya, justru lebih banyak orang yang semakin menjauhkan kita dari Allah, menambah kegilaan kepada dunia, merongrong jiwa dan mengotori hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan taqwa? Dan, jika kriteria ini diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya termasuk kelompok manakah kita?

Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang sesungguhnya.
Cobalah hal paling sederhana. Bukalah surat kabar hari ini, dan bacalah. Mungkin, awalnya Anda geregetan oleh tingkah para koruptor; setelah itu iba menyaksikan para korban bencana alam; selanjutnya terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu dibuat heran oleh isu-isu dunia selebritis; dan kemudian disuguhi ulasan-ulasan olahraga yang beraneka ragam. Dalam sekali duduk, sudah berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika sehari?

Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan baik-baik pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka. Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat amal mereka.”
Itu bermakna pula, bahwa kita bisa memutuskan sejak masih di dunia ini siapa saja yang kelak menjadi teman-teman kita di akhirat. Dengan izin Allah, kita pasti akan bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai misal, jika di dunia ini kita selalu bersama orang-orang yang tidak memperdulikan shalat, hidup penuh kesia-siaan, dan tidak mengenal halal-haram, sementara kita sendiri tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan justru larut, maka apakah yang bisa diharapkan pada Hari Perhitungan kelak? Jelasnya, pengaruh teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab al-Ikhwan, bahwa Washil maula Abu 'Uyainah berkata: aku pernah bersama Muhammad bin Wasi' di Marw. Lalu, 'Atha' bin Abu Muslim al-Khurasani mendatangi beliau bersama anaknya, 'Utsman. 'Atha' kemudian berkata kepada Muhammad, "Amal apakah yang paling utama di dunia ini?" Beliau menjawab, "Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling bersahabat di atas kebajikan dan takwa." Beliau melanjutkan, "Pada saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, sehingga mereka terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka adalah budak dari perutnya masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling menghalangi dari akhirat."
Dengan kata lain, segenap persahabatan, pernikahan, organisasi, parpol, juga kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya akan melahirkan kebahagiaan jika masing-masing orang di dalamnya diikat oleh nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.
Sebaliknya, jika mereka hanya terikat oleh “kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti runyam. Setiap orang akan dengan mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya. Jangankan saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang ada hanyalah jiwa-jiwa oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam dan tidak tenang, sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam memilih pasangan (suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab ketaatan beragama merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan akhlak mulia; yang seterusnya akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah pernikahan tidak memperdulikan aspek ini, maka ia hanya merupakan “kontrak” yang menjemukan dan memenjara. Tidak lama lagi keduanya akan bosan, dan justru sangat bersyukur jika bisa bercerai secepat mungkin. Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di sekitar kita. Sebab, kebahagiaan kita – baik di dunia maupun akhirat – turut ditentukan oleh mereka. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar (http://www.hidayatullah.com/read/27755/20/03/2013/sekali-lagi,-perhatikanlah-siapa-teman-di-sekelilingmu!.html)