وَمَن تَابَ
وَعَمِلَ صَالِحاً فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى اللَّهِ مَتَاباً
“Dan orang-orang yang bertaubat dan mengerjakan amal saleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya.”
[QS: Al-Furqan, 25: 71]
SESUNGGUHNYA tidak
ada yang setengah-setengah dalam agama, semua yang haq dan bathil telah
dijelaskan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Karena itu, jika manusia
ingin melaksanakan syari’at agama hendaknya bersikap total, sepenuhnya
diamalkan.
Masalahnya,
ajakan dan perintah yang cukup jelas itu kadang menjadikan makhluk yang bernama
manusia tidak sempat untuk menangkap hikmah dan manfaat kini. Orang menjadi
serius dengan kesibukan tertentu, dan lalai dalam melaksanakan ajakan dan
perintah itu.
Di sisi lain,
agama ini memberikan ‘rambu-rambu’ kehidupan yang jelas, dan larangan adalah
garis yang tidak dapat diterjang oleh siapapun. Tanpa terkecuali. Betapa Islam
tidak memberikan perlakuan yang bersifat ‘pilih kasih’ dalam soal tatanan dan
aturan hidup.
Sering kali
ungkapan yang diajukan adalah karena saya manusia, tempat lupa dan salah. Ada
lagi yang menganggap mumpung masih muda, dipuas-puaskan. Yang lain lagi
mengatakan bahwa saya ini sudah terlanjur banyak berbuat maksiat. Mungkin masih
banyak yang ingin menunjukkan mengapa tidak segera keluar untuk menemukan jalan
baru, taubat. Semakin dicari alasan semakin tidak akan pernah terjadi
pertaubatan. Dan menuruti hawa nafsu tidak akan pernah ada ujungnya.
Salah dan Dosa
Menurut pandangan
Islam, dosa dibagi dua; dosa besar dan dosa kecil. Allah berfirman:
إن تجتنبوا
كبائر ما تنهون عنه نكفّر عنكم سيّئاتكم وندخلكم مدخلا كريما
“Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar di antara dosa-dosa yang
dilarang kamu mengerjakannya, niscaya kami hapus kesalahan-kesalahanmu
(dosa-dosamu yang kecil) dan kami masukkan kamu ke tempat yang mulia (surga).” (QS:An-Nisa’, 4: 31)
Dalam ayat lain
disebutkan:
الذين يجتنبون
كبائر الإثم والفواحش إلا اللّمم إنّ ربّك واسع المغفرة
“(Yaitu) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan
perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu
Maha luas ampunanNya.” (QS: An-Najm, 53: 32)
Perbuatan dosa,
baik besar maupun kecil, merupakan sebab utama kesengsaraan manusia. Dosa itu
berdampak negatif pada diri pelakunya; keresahan, keterpurukan, bahaya
kesehatan, akal, dan pekerjaan. Dampak lain berupa menghilangnya rasa
persatuan, keguncangan maupun keributan pada masyarakat.
Hanya para Nabi
dan Rasul saja yang terjaga (ma’shum). Tidak ada satu dosapun yang dilakukan
oleh mereka alaihissalam. Allah Ta’ala memberikan perlakuan khusus kepada
hamba-hamba-Nya itu. Jika terdapat di antara kita yang mengaku bebas dari
kesalahan, sok suci, bebas dari setitik salah, tentu bukanlah pengakuan,
mungkin lebih dekat kepada canda atau mengingatkan kita dengan logika terbalik.
Artinya, sadar atau tidak, ya kita pernah berbuah salah.
Terdapat sebuah
analogi bahwa salah itu seperti kotoran. Tergantung pada kecerdasan orang untuk
dapat mengelolanya. Jika orang mampu menjadikan kesalahan untuk mendekat kepada
Allah Ta’ala, untuk bertaubat kepada-Nya, maka kesalahan itu sebenarnya bukan
kesalahan melainkan itu bentuk saluran rahmat dari Allah.
Rasulullah
Muhammad pernah bersabda “Setiap anak manusia pernah melakukan kesalahan, dan
sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah yang mau bertaubat.” Hadits inilah
yang dijadikan landasan untuk menyadari adanya kebaikan dari setiap keburukan,
sehingga orang yang berbuat salah tidak berlama-lama menikmati kemaksiatan yang
membawa kehancuran.
Argumen Itu
Selalu orang
bertanya tentang alasan dalam mengerjakan sesuatu, atau paling tidak orang
berpikir tentang maksud ataupun tujuan melakukan hal yang diperintahkan. Tidak
ada suatu perintah yang tidak dapat dilakukan oleh makhluk. Semua perintah yang
Allah Ta’ala tetapkan merupakan indikator adanya kemampuan makhluk untuk
mengerjakannya. Pun bila terdapat larangan-Nya, sebenarnya tidak seorangpun
yang tidak dapat meninggalkannya. Betapa larangan itu lebih dekat kepada hawa
nafsu yang mendominasi pribadi seseorang, sehingga larangan pun diterjang.
Panggilan
bertaubat sering dikumandangkan, hanya soal indera pendengaran saja yang
bermasalah. Mendengar tetapi tidak fokus pada inti yang disampaikan. Mungkin
bisa saja mendengar, tetapi menerima panggilan tersebut adalah soal lain.
Jika nafas
masih ada, itu tandanya masih terbuka kesempatan untuk bertaubat. Jika ada yang
merasa kotor, terlanjur banyak maksiat dan dosa, itu tandanya diperintahkan
untuk membersihkan diri, bertaubat. Jika orang sudah tahu dirinya kotor,
berlumur lumpur, lantas ‘mandi’, lalu menceburkan diri dalam kubangan lumpur,
itu berarti “nekad”. Orang yang berbuat dosa dan maksiat, sudah bertaubat, lalu
menjerumuskan diri lagi, ini berarti belum menyadari dan sadar diri yang
sesungguhnya.
Pertanyaanya,
“mengapa harus bertaubat?”.
Adalah awal
yang baik bagi orang yang sadar akan maksiat dan bahayanya. Kesadaran untuk
menjawab pertanyaan tersebut menjadi tonggak penting dalam perubahan seseorang
yang ‘biasa’ berlaku maksiat untuk berubah dan menjadi ‘diri’ yang baru.
Amru Khalid,
dalam Hatta Yughayyiru ma bi Anfusihim, menyebutkan 15 efek buruk dari maksiat,
di antaranya: murka Allah, kebencian orang mukmin, penghalang datangnya rezeki,
penghalang memperoleh ilmu, cobaan yang berat, merasa terasing dari Allah,
merasa terasing dari lingkungan, hati yang gelap dan raut muka yang suram,
terhalang melakukan ketaatan, hasrat untuk mengerjakan kemaksiatan lain,
kehinaan di sisi Allah, kehinaan di dalam hati, melemahkan akal, petaka akibat
maksiat, dan mulut pelaku maksiat akan berkhianat pada dirinya.
Argumen yang
sahih ditemukan oleh para pelaku maksiat adalah dalam firman Allah:
إنّما التوبة
على الله للّذين يعملون السّوء بجهالة ثم يتوبون من قريب فأولئك يتوب الله عليهم
وكان الله عليما حكيما
“Sesungguhnya taubat di sisi Allah hanyalah taubat bagi
orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka
bertaubat dengan segera. Maka mereka itulah yang diterima Allah taubatnya. dan
Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
An-Nisa’, 4: 17).
Pada ayat di
atas, yang dimaksud mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan adalah: 1. orang
yang berbuat maksiat dengan tidak mengetahui bahwa perbuatan itu adalah maksiat
kecuali jika dipikirkan lebih dahulu; 2. orang yang durhaka kepada Allah baik
dengan sengaja atau tidak; 3. orang yang melakukan kejahatan karena kurang
kesadaran lantaran sangat marah atau Karena dorongan hawa nafsu.
Saatnya Kembali
Dalam Al-Khathaya fi Nadzril Islam disebutkan bahwa taubat mencakup tiga syarat: (a)
meninggalkan perbuatan dosa; (b) menyesali perbuatannya; (c) bertekad tidak
akan melakukannya kembali. Salah satu unsur penting dalam taubat adalah adanya
rasa penyesalan. Rasa penyesalan ini mempunyai pengaruh besar dalam merubah
sikap seseorang dari keadaan jelek menjadi baik.
Manusia lahir
dalam keadaan suci, fitrah. Jika manusia mengotori fitrahnya itu lantaran hawa
nafsu yang menguasai dirinya, hingga orang lalai, salah, berbuat dosa atau maksiat,
maka kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka dan selalu dibuka untuk
siapa saja yang mau kembali, kembali ke jalan yang benar. Selama hayat masih
dikandung badan, bertaubat masih diterima. Namun bila orang menunda-nunda,
mengulur waktu, tidak mau bersegera untuk bertaubat, maka suatu saat nyawa akan
meregang dari raga tanpa warning, dan datangnyapun tiba-tiba.
Jika panggilan
taubat tidak lagi dihiraukan, waspadalah bahwa Malaikat Izrail bisa kapan saja
dan dimana saja mencabut nyawa, tentunya Izrail bertindak setelah adanya
instruksi Sang Khaliq. Maka waspadalah terhadap mati su’ul khatimah (akhir yang buruk).
Upaya untuk
kembali ke jalan yang lurus hendaknya diupayakan semaksimal mungkin. Perjuangan
untuk taubat ini mengandung nilai yang positif bagi perbaikan pribadi dan bukti
penghambaan kepada Yang Maha Pengampun. Jika orang yang bertaubat sudah kembali
ke dalam naungan cahaya ilahi, ia pantang kembali kepada kemaksiatan. Maka
diperlukan cara jitu untuk menepis keinginan untuk bermaksiat, yaitu (i)
bergaul dengan orang saleh; (ii) membiasakan diri beramal saleh. Di sinilah
pentingnya lingkungan yang baik, yang mendukung berseminya kemaslahatan dan
perbaikan serta kebermaknaan hidup di bawah ridha Allah Ta’ala.*/Moh. In’ami, peneliti pada Lembaga Kajian Agama
Sosial Budaya & Filsafat "eLKASYF" Kudus
No comments:
Post a Comment