HARI-HARI masalah Syiah kembali mengemuka di
Indonesia. Secara bahasa Syiah diartikan sebagai ‘kelompok, golongan’
dan pendukung’. Secara istilah, Syiah adalah sebuah sempalan dalam agama
Islam yang memiliki rukun Islam dan rukun iman tersendiri. Dianggap
sempalan karena Rukun Islam dan Rukun Imannya berbeda.
Di sisi lain, kelompok ini ini dianggap menyimpang setidaknya sikap berlebih-lebihan mereka terhadap sahabat Nabi sementara di sisi lain
justru mencela sahabat yang dicintai Nabi bahkan dijamin masuk surga.
Padahal Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku (sahabat), kemudian generasi
sesudahnya, dan sesudahnya lagi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, para Sahabat Nabi adalah orang yang lebih dahulu masuk
Islam mendampingi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
berhijrah dan berperang, serta melindungi beliau. Karena itu para
sahabat radhiyallahu ‘anhum lebih mulia daripada orang setelah mereka
dari umat ini.
Karena tingginya kedudukan para sahabat pula, Rasulullah bersabda,
“Janganlah kalian mencela sahabatku. Karena demi Dzat yang jiwaku di
tangan-Nya, kalau salah seorang di antara kalian menafkahkan emas
sebesar gunung Uhud, maka nilainya tidak akan mencapai satu mud
(segenggam tangan) salah seorang mereka, dan tidak juga separuhnya.”
(HR. Bukhari)
Bandingkan dengan Syiah. Ia memperlakukan Fatimah, putri Rasulullah
setinggi mungkin, di saat yang sama, ia malah menista istri Nabi, Aisyah
r.a., dan menuduhnya sebagai wanita paling hina dan pasti jadi penghuni
neraka. Demikian pula Husain, putra dari Ali dan Fatimah r.a., ia
sangat dimuliakan para pengikut Syiah, bahkan menjadikan hari
kematiannya sebabagi hari ratapan dan kesedihan, setiap 10 Muharram,
atau Asyura. Pada saat yang sama, Hasan yang juga tergolong Ahlul Bait
karena saudara kandung Husain, sama sekali tidak dihiaraukan dan
diperhatikan apalagi dikenang.
Perbedaan mencolok antara ajaran Islam yang tulen dengan ajaran
Syiah, terletak pada pondasinya. Yang kita kenal sebagai rukun Islam dan
rukun Iman. Perbedaan inilah yang prinsipil, dan perbedaan ini pula
yang sebetulnya dapat membawa Syiah sebagai agama tersendiri, millah
mustaqillah.
Karena itu, sikap dan perilaku kaum Syiah bisa disebut sebagai “ahli
bid’ah”. Di mana pelakunya membuat sesuatu yang baru dalam Islam, baik
akidah maupun syariat, lalu dinisbatkan kepada agama dan diklaim sebagai
ajaran Islam yang pernah dicontohkan oleh Nabi.
Bid’ah bertingkat-tingkat, yang terbesar adalah bid’ah akidah yang
dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikan mereka
masuk dalam kekufuran yang nyata. Contoh kongkrit bid’ah akidah yang
bermuara pada kekufuran adalah, para penganut Syiah yang merombak asas
ajaran Islam, yaitu rukun Islam dan rukun Imam.
Rukun Islam ada lima: Dua kalimat syahadat; mendirikan shalat;
berpuasa di bulan Ramadhan; mengelurkan zakat; dan berhaji ke Baitullah
jika mampu.
Sementara rukun Islam dalam Syiah meliputi: Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dan, al-Wilayah.
Dalam Islam kita mengenal rukun Iman; Beriman kepada Allah, beriman
kepada para malaikat-Nya, kepada kitab-Kitab-Nya, kepada para Rasul,
kepada hari kiamat, dan beriman kepada qadha dan qadar.
Sementara dalam Syiah, rukun Iman Syiah; At-Tauhid, an-Nubuwah, Al-Imamah, al-Adlu, dan Al-Ma’ad.
Bahkan kalimat syahadat penganut agama Syiah pun beda dengan Islam,
sebab syahada kaum muslimin hanya terdiri dari dua kakimat, bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan
Allah, sedang Syiah selain dua kalimat syahadat tersebut ditambah lagi
dengan syahadat pada imam mereka yang dua belas itu.
Perbedaan kedua rukun inilai yang membawa Syiah sebagai ajaran dan amalan bid’ah yang nyata.
Dari segi Syaariat, Syiah juga menjadi contoh nyata sebagai pelaku
bid’ah syariat yang paling komplit. Mulai dari, mengotak-atik waktu
shalat, hingga jumlah rakaat, dan tata caranya. Syiah menggabungkan
salat Zuhur dan Asar, Magrib dan Isya. Jadi, mereka hanya shalat tiga
waktu saja. Subuh, Zuhur campur Ashar, dan Magrib campur Isya’, cara itu
dilakukan baik sebagai mukim, maupun sebagai musafir.
Mereka bahkan tidak merasa sah shalatnya jika tanpa bersujud di atas
tanah Karbala. Karena itu, setiap ingin melaksanakan shalat, setiap itu
pula tanah Karbala harus disediakan.
Padahal sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari-Muslim, “Ju’ilat
liayal ardhu masjidan wa thahuran” (Dijadikan bumi ini sebagai masjid
bagiku, dan tanahnya adalah suci). Dengan hadits Nabi ini, apa bedanya
tanah Karbala dengan tanah Makassar atau Surabaya?
Selain itu, kaum Syiah menjadikan Karbala (di Iran) sebagai tanah
suci melebihi Haramayn, Makkah dan Madinah. Ini dapat dimaklumi karena
agama mereka mengajarkan demikian, dan sudah sepantasnya pula Karbala
menjadi tujuan umat Syiah untuk menunaikan Ibadah Haji.
Melawan Bid’ah
Karena itu Syiah adalah ahli bid’ah akidah yang telah mengeluarkan
pelakunya dari tuntunan ajaran Islam yang benar, yaitu sesuai dengan apa
yang diamalkan dan diajarkan Rasulullah dan para sahabatnya, serta
generasi pendahulu umat ini, assalafus-shaleh hadzihil ummah.
Tugas kita semua adalah meluruskan kesalahan mereka, dengan cara-cara
yang baik, lembut bersahaja, lagi ilmiah. Bukan dengan kekerasan fisik.
Karena bagaimana pun, mereka hanyalah korban penyesatan dari golongan
manusia.
Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, (dalam Al-Fawaid/hal. 51) mengajak segenap
kaum muslimin, memiliki kepedulian untuk membela ajaran Islam yang
benar, serta bersatu padu, bekerja sama, bukan saja sama bekerja, untuk
melawan segenap penyimpangan agama yang telah dilakukan dan terus
dipasarkan Syiah.
“Kita harus maju ke depan menjadi kuda jagoan dalam memberantas
kesesatan, sebab ‘kuda-kuda jagoan itu ada di bagian depan, sementara
kuda pemikul beban itu ada di belakang.”
Sementara Al Imam Ibnu Qutaibah berkata, “Hanyalah kebatilan itu
menjadi kuat dengan dia itu didiamkan.” (Dalam Al Ikhtilaf Fil Lafzh).
Ada pun Ibnu Taimiyyah, ia menyatakan, “Setiap kali orang yang tegak
dengan cahaya kenabian itu melemah, maka menguatlah kebid’ahan.”
(Majmu’ul Fatawa/3/hal. 104).
Muhammad Al-Basyir Al-Ibrahimi menegaskan, “Wajib bagi seorang alim
agama ini untuk bersemangat dalam memberikan petunjuk ketika merebaknya
kesesatan itu dan bersegera dalam menolong kebenaran ketika dia melihat
kebatilan sedang melawannya serta menyerang kebid’ahan, kejelekan serta
kerusakan sebelum menjadi kuat dan semakin memuncak, sebelum manusia
menjadi terbiasa dengannya dan meresap dalam hati-hati mereka sehingga
sulit untuk mencabutnya. Maka wajib atas seorang alim untuk terjun ke
tengah-tengah kancah sebagai mujahid, janganlah dia menjadi orang yang
tertinggal di belakang dan hanya duduk-duduk saja. Hendaknya juga untuk
berbuat sebagaimana yang dilakukan oleh para pengobat pemberi nasehat di
tempat-tempat terjangkitnya wabah penyakit untuk menyelamatkan manusia
dan untuk menyadarkan orang-orang yang berada dalam kesalahan, bukannya
berjalan bersama mereka, tetapi berusaha untuk membubarkan perkumpulan
mereka di atas kesalahan tersebut.” (Dalam Al-Atsar/4/110-111).
Al Imam Al-Wadi’ berkata, “Dan kebid’ahan itu muncul jika Ahlus
Sunnah tidak melaksanakan penyebaran sunnah Rosulullah–sampai pada
ucapannya–maka jika sunnah itu muncul, maka sungguh bid’ah itu akan
pergi dari negeri yang di situ terdapat sunnah Rasulullah.” (Dalam
Ghorotul Asyrithah/2/hal. 155-156).
Guna meluruskan dan mereduksi para pelaku bid’ah akidah dan ibadah
seperti kaum Syiah. Setidaknya ada cara lebih bijak, setidaknya menindak
lanjuti pernyataan Wakil Presiden Ri, Muhammad Jusuf Kalla (JK), untuk
menjadikan Syiah sebagai agama baru. Dengan itu, akan menjadi garis
demarkasi lebih jelas antara Islam dan Syiah yang selama ini berbaur
dalam sebuah wadah namun tetap tak dapat disatukan, laksana minyak dan
air. Wallahu A’lam!*
Ilham Kadir *)Penulis Peserta Kaderisasi 1000 Ulama, Kandidat Doktor Pascasarjana UIKA Bogor
No comments:
Post a Comment