SIAPAKAH teman-teman kita? Apakah mereka mendatangkan ketentraman, kebahagiaan,
dan semakin mendekatkan kita kepada Allah? Atau justru sebaliknya, mereka
menjadi sumber kegelisahan, kesedihan, kelalaian dan menjauhkan kita dari Allah
Subhanahu Wata’ala dan akhirat?
Mari sejenak merenungkan diri kita sendiri, juga
orang-orang di sekitar kita, selagi Allah masih memberi kesempatan. Sebab,
hidup ini hanya sekali. Tidak ada peluang kedua.
Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).
Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Sebagai Muslim, kita telah diajari bagaimana menilai teman-teman kita. Tersedia sebuah kriteria sederhana dan praktis.
Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para Sahabat, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terbaik di antara kalian?” Mereka menjawab, “Mau, ya Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Yaitu, orang-orang yang jika mereka terlihat (oleh kalian), maka mengingatkan kepada Allah.” Beliau kemudian bersabda lagi, “Maukah kalian kuberitahu siapa orang-orang terburuk di antara kalian? Yaitu, orang yang kesana-kemari menebar fitnah, yang suka merusak kesetiaan di antara orang-orang yang saling mencintai, dan yang mengusahakan timbulnya kerusakan serta dosa di tengah-tengah orang-orang yang bersih (kehidupannya).” (Hadits riwayat Ahmad, sanad-nya hasan li ghairihi).
Jadi, menurut beliau, ciri khas orang yang baik adalah jika kita melihat mereka maka kita akan teringat kepada Allah.
Berapa banyak orang seperti ini di sekitar kita;
yang kepribadian serta tindakannya menyejukkan hati dan meningkatkan keimanan,
menambah rasa syukur dan menenangkan jiwa? Berapa banyak orang yang membuat
kita segan bermaksiat di dekatnya, membuat kita lebih berhati-hati, dan
menyemangati ibadah? Atau, justru sebaliknya, justru lebih banyak orang yang
semakin menjauhkan kita dari Allah, menambah kegilaan kepada dunia, merongrong
jiwa dan mengotori hati, mengobarkan syahwat dan mengerdilkan taqwa? Dan, jika
kriteria ini diterapkan kepada diri kita sendiri, sebenarnya termasuk kelompok
manakah kita?
Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang sesungguhnya.
Maka, sangat baik bagi kita untuk selalu mawas diri. Sebab, hati manusia sebenarnya sangat lemah dan mudah berubah. Oleh karenanya, hati disebut al-qalbu dalam bahasa Arab, artinya berbolak-balik. Dan, itulah gambaran dari hati manusia yang sesungguhnya.
Cobalah hal paling sederhana. Bukalah surat kabar hari ini,
dan bacalah. Mungkin, awalnya Anda geregetan oleh tingkah para koruptor;
setelah itu iba menyaksikan para korban bencana alam; selanjutnya
terkagum-kagum oleh berita sains-teknologi; lalu dibuat heran oleh isu-isu
dunia selebritis; dan kemudian disuguhi ulasan-ulasan olahraga yang beraneka
ragam. Dalam sekali duduk, sudah berapa kali hati kita berubah? Bagaimana jika
sehari?
Oleh karenanya, kita perlu memperhatikan baik-baik pengaruh macam apa yang akan memasuki hati kita. Ahmad bin Harb berkata, “Tidak ada yang bermanfaat bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang shalih dan menyaksikan amal mereka. Sebaliknya, tidak ada yang berbahaya bagi hati seorang hamba selain bergaul dengan orang-orang fasiq (ahli maksiat) dan melihat amal mereka.”
Itu bermakna pula, bahwa kita bisa memutuskan sejak
masih di dunia ini siapa saja yang kelak menjadi teman-teman kita di akhirat.
Dengan izin Allah, kita pasti akan bersama-sama dengan mereka disana. Sebagai
misal, jika di dunia ini kita selalu bersama orang-orang yang tidak
memperdulikan shalat, hidup penuh kesia-siaan, dan tidak mengenal halal-haram,
sementara kita sendiri tidak melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan justru
larut, maka apakah yang bisa diharapkan pada Hari Perhitungan kelak? Jelasnya,
pengaruh teman memang tidak bisa diabaikan.
Ibnu Abi Dunia meriwayatkan dalam kitab al-Ikhwan,
bahwa Washil maula Abu 'Uyainah berkata: aku pernah bersama
Muhammad bin Wasi' di Marw. Lalu, 'Atha' bin Abu Muslim al-Khurasani mendatangi
beliau bersama anaknya, 'Utsman. 'Atha' kemudian berkata kepada Muhammad,
"Amal apakah yang paling utama di dunia ini?" Beliau menjawab,
"Menemani teman dan bercakap-cakap dengan saudara, apabila mereka saling
bersahabat di atas kebajikan dan takwa." Beliau melanjutkan, "Pada
saat itu, Allah akan menghadirkan kemanisan di antara mereka, sehingga mereka
terhubung dan saling menyambungkan hubungan. Tidak ada kebaikan dalam menemani
teman dan bercakap-cakap dengan saudara jika mereka adalah budak dari perutnya
masing-masing, sebab jika mereka seperti ini maka satu sama lain akan saling
menghalangi dari akhirat."
Dengan kata lain, segenap persahabatan, pernikahan,
organisasi, parpol, juga kehidupan berbangsa dan bernegara, hanya akan
melahirkan kebahagiaan jika masing-masing orang di dalamnya diikat oleh
nilai-nilai kebajikan dan ketakwaan.
Sebaliknya, jika mereka hanya terikat oleh
“kepentingan perutnya”, maka hasilnya pasti runyam. Setiap orang akan dengan
mudah saling mengintai dan menjegal demi keuntungan pribadinya. Jangankan
saling menolong, saling perduli pun tidak. Yang ada hanyalah jiwa-jiwa
oportunis. Tentu saja, semua orang akan merasa terancam dan tidak tenang,
sehingga kebahagiaan hakiki sukar didapatkan.
Oleh karenanya, Rasulullah mengajarkan kepada kita
untuk mengedepankan kriteria “ketaatan beragama” dalam memilih pasangan
(suami/istri). Logika di baliknya cukup jelas, sebab ketaatan beragama
merupakan benih tanaman kebajikan, ketakwaan, dan akhlak mulia; yang seterusnya
akan membuahkan kebahagiaan. Jika sebuah pernikahan tidak memperdulikan aspek
ini, maka ia hanya merupakan “kontrak” yang menjemukan dan memenjara. Tidak
lama lagi keduanya akan bosan, dan justru sangat bersyukur jika bisa bercerai
secepat mungkin. Subhanallah!
Maka, perhatikanlah siapa orang-orang di sekitar
kita. Sebab, kebahagiaan kita – baik di dunia maupun akhirat – turut ditentukan
oleh mereka. Wallahu a’lam.*/Alimin Mukhtar (http://www.hidayatullah.com/read/27755/20/03/2013/sekali-lagi,-perhatikanlah-siapa-teman-di-sekelilingmu!.html)
No comments:
Post a Comment