“SESUNGGUHNYA
setiap
agama mempunyai akhlak dan sesungguhnya akhlak Islam adalah malu,” demikian
hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh Ibnu
Majah.
Malu
bukanlah sifat yang mudah untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh dan menjadi
perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah dan hari akhir
benar-benar sangat kokoh.
Hari ini
nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai dengan sifat malu ini. Contoh
paling nyata adalah beberapa sikap kaum Muslimah yang belum menutup aurat
ketika memajang foto-foto yang semestinya tidak di upload ke dunia maya malah
justru sangat disenangi dan digandrungi.
Bahkan
ada yang suka memasang foto dirinya saat berenang dengan pakaian yang tidak
sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang juga memajang foto-foto
anggota badan yang termasuk aurat ke dalam status Facebook-nya.
Mengenai
aurat ini, perhatian Rasulullah sangat tegas. Beliau bersabda; “Sesungguhnya
Allah Maha lembut, Maha malu dan Maha menutupi, Dia menyukai sifat malu dan
menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia menutup
diri.”
Dalam
kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat dari sikap sebagian kaum Muslimin yang
tidak bersegera menunaikan kewajiban-kewajibannya. Sudah tahu waktu sholat tidak
lama lagi, lantunan adzan pun mulai terdengar, tetapi masih lebih memilih asyik
nonton di depan TV, bahkan sebagian lainnya masih asyik ber-Facebook
ria. Hal ini juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak
terpisahkan dari sebagian umat Islam.
Dalam
ajaran Islam, seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di atas, dan
termasuk Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan keduniaan,
termasuk kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu. Mengapa demikian?
Suatu
ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Malulah kalian
kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab, “Alhamdulillah,
kami malu.”
Nabi pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).
Nabi pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).
Itulah
mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah melewati malam
melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu kepada Allah jika nikmat
yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan tidak ditunaikan secara
sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau malu jika sepanjang malam
digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat manusia agung yang sangat
pemalu, terutama kepada Allah Subhanahu Wata’ala.
Ketika
malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali ke langit dunia untuk membawa
perintah mendirikan sholat, beliau bolak-balik menghadap Allah karena mendapat
saran Nabi Musa agar perintah sholat yang Allah wajibkan atas umatnya dikurangi
jumlah raka’atnya.
Akhirnya
setelah mendapatkan keringanan menjalankan shalat lima waktu sehari semalam,
Nabi Musa masih menyarankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam minta
keringanan kepada Allah. “Istahyaytu min rabbi” demikian jawab manusia
agung itu. “Aku malu kepada Rabbku”. Subhanallah, Rasulullah saja malu meminta
keringanan lagi, lalu mengapa sebagian umat Islam tidak bersemangat mendirikan
shalat.
Bahkan
Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Beliau malu kepada Allah
sekaligus malu kepada seluruh umatnya jika berdoa hanya untuk diri beliau
sendiri, apalagi setiap doa beliau pasti dikabulkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala.
Hal ini
beliau jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi mempunyai doa yang
mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera menggunakan doanya (di
dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai syafa’at bagi umatku di hari kiamat,
ia akan didapatkan Insya Allah oleh siapa pun dari umatku yang mati daam
keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.” (HR. Bukhari).
Jika
Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya, dan mengkhususkan doa mustajabnya
untuk kita, lalu mengapa kita tidak malu mengabaikan amanah dan sunnah-sunnah
beliau, sementara kita selalu berharap mendapat syafaatnya kelak di hari
kiamat?
Malu
dalam Pergaulan
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan rasa malu dalam
pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa menjaga diri dari yang
tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi seorang yang tidak suka
berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan, dan tidak berteriak-teriak di
pasar,” demikian tutur istri beliau yang banyak meriwayatkan
hadits-haditsnya.
Urusan
malu adalah urusan iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu itu termasuk
dari iman, dan iman itu di dalam surga, keburukan ucapan termasuk sikap tidak
peduli (kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu adalah di neraka,” demikian
tegas Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.
Rasulullah
menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan, ia tidak akan pernah
sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia yang lisannya selalu
menjelek-jelekkan orang lain, dan membangga-banggakan dirinya, cukuplah bukti
bahwa orang itu tidak punya rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan,
tidak ada yang dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.
Di
sinilah fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam itu meliputi
banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta.
Maka dari
itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak mulia itu seorang
Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya. Bukan rasa malu yang umum
disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana malu hanya ditujukan kepada
manusia. Padahal malu yang benar adalah malu kepada Allah bukan kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*
Perilaku
sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain (korupsi), tidak jujur, dan
takut diketahui orang segala rencana dan perbuatannya yang merusak, semuanya
termasuk sifat tercela dan menunjukkan ketiadaan rasa malu yang benar kepada
Allah SWT.
Orang
yang seperti itu biasanya akan shock jika keburukannya diketahui oleh orang
lain, sebab baginya tidak ada yang lebih ditakutkan kecuali ada manusia
mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu tidak benar-benar malu. Oleh
karena itu tidak mengherankan jika mereka berani melawan perintah Allah,
asalkan manusia tidak mengetahui dan menentangnya. Naudzubillah.
Terhadap
orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di antara ajaran yang
manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang pertama adalah Apabila engkau
tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kau mau.” (HR. Bukhari).
Di dalam
Al-Qur’an, Allah berfirman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki;
sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).
Tentu
penegasan Rasulullah yang terakhir itu bukanlah perintah untuk berbuat sesuka
hati, melainkan untuk menghindar dari perbuatan memperturutkan hawa nafsu.
Karena menuruti hawa nafsu akan menghilangkan kemampuan akal sehat dan
menjadikan seorang manusia hidup tanpa iman dan karena itu tidak punya sifat
malu. Padahal dalam Islam, malu adalah bagian dari keimanan.*
Red: Cholis Akbar
No comments:
Post a Comment