Pages

Tuesday, March 19, 2013

Berani Berkata dan Berani Berbuat




BANYAK manusia bijak yang bertebaran di muka bumi ini, tak jarang nasehat-nasehat santun dan menuntun mereka publikasikan kepada khalayak umum. Dengan penampilan yang mempesona dan meyakinkan bagaikan orator ataupun mubaligh ulung, mereka “blusukan” mendoktrin orang lain untuk melakukan kebajikan. Sayangnya, teramat banyak golongan yang demikian itu hanya mencari sensasi. Terlebih jika dikaitkan dengan urusan politik. Nasehat dan amal apapun, cenderung pamrih.
"Amal-amal politik", kadang lebih dominan dengan gerakan meraih simpatisan dan popularitas.
Urusan pamrih inilah yang seharusnya dihindarkan orang yang mengaku ummat yang beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala dan Rasul-Nya.
Hikmah yang dapat diambil dari Bani Israil, kaum keturunan nabi Ya’kub as dan sekarang familiar dengan sebutan bangsa Yahudi, di mana mereka sangat terkenal sebagai kaum yang suka ingkar janji, bahkan senantiasa mengingkari perintah dan larangan Allah Subhanahu Wata’ala.
Mereka selalu ingkar atas nikmat yang telah Allah limpahkan kepada mereka, bahkan berani mengingkari dari apa yang telah mereka janjikan kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Di antaranya, janji Bani Israil kepada Allah dan mengingkarinyaadalah ketika mereka bernaji menyembah Allah Subhanahu Wata’ala dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Mereka berjanjia beriman kepada Rasul-rasul Allah di antaranya nabi Muhammad sebagaimana yang tersebut di dalam Taurat. Tapi pada kenyataannya, hingga detik ini kaumYahudi masih tidak mengakui ke-Esa-an Allah Subhanahu Wata’ala, bahkan mereka memusuhi ummat Islam yang beriman dan bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karena itulah, Yahudi adalah salah satu kaum yang mendapat peringatan dari Allah Subhanahu Wata’ala terkait perbuatannya yang tidak sesuai dengan perkataannya.
Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 44, Allah Subhanahu Wata’ala berfirman;

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنسَوْنَ أَنفُسَكُمْ وَأَنتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. Padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

Diriwayatkan oleh al-Wahidi dan ats-Tsa'labi dari al-Kalbi, dari Abi Shaleh yang bersumber dari Ibnu Abbas, bahwa turunnya ayat tersebut dikaitkan dengan kaum Yahudi Madinah yang pada waktu itu berkata kepada mantunya, kaum kerabatnya dan saudara sesusunya yang telah masuk agama Islam.
Mereka berkata: "Tetaplah kamu pada agama yang kamu anut (Islam) dan apa-apa yang diperintahkan oleh Muhammad, karena perintahnya benar." Ironinya, mereka menyuruh orang lain berbuat baik, tapi dirinya sendiri tidak mengerjakannya. Hal inilah yang menjadi asbabun nuzul turunnya peringatan Allah swt dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 44 tersebut.
Tentu peringatan Allah swt tidak berhenti pada kaum Yahudi saja, segala bentuk teguran-Nya berlaku secara umum dan menyeluruh hingga akhir zaman. Dan kini, orang-orang yang sedang hidup di zaman globalisasi sangat rentan mengatakan sesuatu yang mereka tidak mampu bahkan tidak ingin untuk melakukannya. Terbius dengan gemerlapnya dunia dan status jabatan yang tinggi, menyebabkan banyak orang berani melakukan sesuatu yang bertentangan dengan ucapan.
Betapa banyak orang-orang yang mengaku beragama dan beriman, mereka memiliki kesempatan membuat kebijakan atau aturan, namun mereka sendiri tidak melaksanakan kebijakan dan aturan itu, bahkan sering melanggar aturan-aturan yang telah dibuatnya dengan anggaran biaya yang “selangit” tersebut. Tidak sedikit mereka yang pandai menyeru kebaikan ketika di atas mimbar atau podium, tetapi tutur katanya itu sendiri tidak pernah menjadi cermin dalam perilaku sesungguhnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam lebih tegas mengingatkan orang-orang beriman akan siksa yang pedih bagi kaum yang suka mengajak kebaikan, namun ia tidak melakukan kebaikan itu, atau kaum yang gemar melarang berbuat dzalim, sementara ia selalu berbuat kemunkaran.
Dari Abu Zaid, Usamah bin Zaid bin Haritsah ra., Rasulullah bersabda, “Pada hari Kiamat, ada seorang laki-laki didatangkan lalu dilemparkan ke dalam neraka. Ususnya keluar. Ia berputar-putar seperti keledai yang berputar mengelilingi penggilingan.”
Penduduk neraka mengerumuninya dan bertanya, “Hai Fulan, bukankah kamu yang menyuruh mengerjakan kebaikan dan melarang kemunkaran?” Dia menjawab, “Ya. Dulu, aku menyuruh mengerjakan kebaikan, tetapi aku tidak melakukan kebaikan itu. Aku juga melarang adanya kemunkaran, tapi aku sendiri melakukan kemunkaran itu.” (Riwayat Bukhari & Muslim).

Sebagian di antara kita memiliki sifat demikian. Suka berkata dan mengajak orang lain dalam kebaikan, namun dirinya sendiri enggan atau tidak melakukan apa yang ia perintahkan.
Tak sedikit di antara kita suka melarang sebuah kemunkaran, namun diri sendiri masih melanggarnya. Padahal, sikap seorang Muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi lainnya.

Karena itulah Allah Subhanahu Wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)

“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?  Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS: Ash Shaff: 2-3).

Sungguh, beruntungnya kita ummat Islam sebagai ummat akhir zaman. Tugas mulia sebagai khalifah di muka bumi menuntut kita agar mampu memberi teladanamal ma’ruf nahi munkar yang tidak sebatas lisan. Kearifan berpikir, kejujuran bertutur dan kesantunan berperilaku harus berjalan seimbang, karena itu bagian dari teladan yang pernah dicontohkan Rasulullah saw, Nabi akhir zaman. Di rumah, di kantor, di masyarakat, apa yang ada dalam perbuatan kita haruslah sama dengan apa yang sering kita ucapkan dalam lisan kita. Itulah tanda-tanda keimanan.(ditulis saudaraku */Zainal Arifin, Batam)

No comments:

Post a Comment